Apa yang
akan aku tulis saat ini adalah tentang seseorang. Bagiku dia adalah seorang
malaikat. Ya seorang malaikat, malaikat tak bersayap. Yang selalu bisa
membawaku terbang, memberiku rasa nyaman yang teramat sangat, yang selalu ada
disaat hati ini senang ataupun susah, hingga bisa membuatku menjadi sekarang
ini, sebesar ini, sepintar ini, sesehat ini. Ya dialah seorang ibu.
Ibu…dialah
kunci besar kesuksesanku selama ini. Dialah penuntunku. Dialah sahabat
terbaikku. Dialah kado terindah yang diberikan Allah untukku. Allah memiliki
rencana bagaimana Ia menuntun hamba-Nya untuk menuju pada-Nya, untuk mengetahui
kebesaran-Nya. Ya salah satunya melalui seorang ibu.
Umi,
begitu aku memanggilnya. Malam ini aku teringat sosok umi. Sosok seorang ibu
yang selalu ada disaat aku membutuhkannya, disaat aku menangis untuk
mendapatkan susu, disaat aku kedinginan karena udara malam, disaat aku
ketakutan karena gelapnya malam.
Malam ini
semua memori itu terputar kembali dibenakku, dalam pikiranku, dalam hatiku.
Semua pengorbanan yang telah umi lakukan demi aku, anaknya. Pengorbanan yang
umi lakukan tidak sebanding, bahkan jauh…jauh…sangat jauh…dengan apa yang telah
aku capai saat ini. Aku yang sekarang adalah aku yang masih belum bisa membalas
semua yang telah umi berikan kepadaku.
Saat itu
aku masih kecil, bahkan sekarang pun aku masih tetap kecil, dibandingkan dengan
apa yang telah Allah berikan kepadaku. Aku teringat waktu itu, saat usiaku baru
menginjak 5 tahun. Ya mungkin 5 tahun, yang jelas ketika aku masih harus
diimunisasi. Ketika aku hendak ditimang oleh petugas imunisasi tersebut, aku
menangis. Ya aku menangis. Apa yang aku rasakan saat itu adalah aku akan
kehilangan orangtuaku, ibuku, umi-ku. Sejenak aku berpikir, sangat besar sekali
apa yang telah umi berikan kepadaku sehingga aku tidak ingin ia pergi, bahkan
hanya untuk sekedar menimbang berat badan pun saja aku tidak sanggup. Aku
menangis.
Taman
kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas,
hingga aku kuliah seperti ini semuanya berkat orangtuaku, ibuku, umi-ku. Lantas
aku berpikir, apa yang sudah aku berikan untuk umi-ku ? aku berpikir…aku
berpikir…hanya sedikit yang telah aku berikan untuk umi-ku. Hanya sedikit…
Hal yang
sering aku beri kepada umi-ku adalah beban. ‘umi aku minta uang segini untuk
membeli ini’, padahal aku tahu waktu itu umi-ku sedang tidak memegang banyak
uang, sedangkan aku hanya bisa memaksakan kehendakku. Beruntunglah jika
orangtua kita adalah orang berada. Itu sebuah kelebihan. Sedangkan keluargaku
adalah keluarga ‘waluya’, waktu perlu aya, maksudnya ketika kita membutuhkan
sesuatu pasti ada jalannya. Tega sekali aku memaksakan kehendakku sementara
umi-ku pun serba pas-pasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari kami pada saat
itu.
Teringat
jelas ketika keluargaku masih utuh. Saat itu sedang musim scooter, otopet,
begitu aku menyebutnya. Tiba-tiba saja di sore itu, bapakku membawakan ku
sebuah otopet. Senangnya bukan main, begitu perhatiannya bapakku itu terhadap
anak-anaknya. Termasuk padaku. Saat itu semuanya berjalan dengan baik.
Kebutuhan kami dapat tercukupi. Hingga hari dimana Bapakku mengalami kecelakaan
dan beliau tidak bisa lagi bekerja dan setelah beberapa tahun kemudian bapakku
pergi meninggalkan aku, adikku, kakakku, juga ibuku, umi-ku. Saat itu semua
tugas bapakku menjadi tugas umi-ku.
Bisa
dibayangkan begitu kuatnya umi-ku. Mengatur segalanya dalam keluargaku. Bisa
dibayangkan begitu besarnya, begitu banyaknya keringat yang telah ia keluarkan
untuk kami, anak-anaknya. Sementara apa yang aku berikan hanya sebuah beban.
Tidak! Bukan sebuah, tetapi banyak.
Aku yakin
semua ibu didunia seperti umi-ku. Begitu juga ibumu. Ya ibumu…engkau. Coba
ingat-ingat apa yang telah engkau berikan kepada orangtuamu, kepada ibumu.
Apakah engkau telah memberikan kebahagiaan tak terhingga untuk ibumu ? seperti
apa yang telah ibumu beri kepadamu.
Seorang
ibu akan mendengarkan keluhan atau masalah yang sedang dihadapi anaknya,
walaupun ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Seorang Ibu akan sangat
bahagia jika anaknya bahagia dan seorang ibu akan jauh lebih banyak meneteskan
airmata dibandingkan anaknya jika anaknya sedang dilanda kesedihan. Seorang ibu
akan selalu tetap tersenyum walau beratnya beban yang sedang ia pikul. Seorang
ibu akan selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan ia rela berpuasa
agar anaknya dapat makan saat itu. Seorang ibu akan rela mengatakan, “makanlah
makanan itu nak…ibu sudah kenyang”. Semua itu karena cinta kasih sayang
terhadap anaknya.
Ingat!
surga ditelapak kaki ibu. Ridho Allah tergantung dari Ridho orangtua, ridho
seorang ibu.
Beruntunglah
jika kamu masih memiliki orangtua, ayah dan ibu. Banyak diantara kita yang
sudah yatim-piatu. Maka berikanlah yang terbaik yang kamu punya, yang kamu
bisa. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum ayah dan ibumu dipanggil oleh Sang
Pencipta. Jadilah anak yang soleh/solehah, dan selalu berbaktilah kepada
orangtua. Ingat! salah satu amalan yang tidak akan pernah putus adalah do’a
anak yang soleh. Bahagiakan mereka. Itu juga menjadi salah satu cita-citaku.
Membahagiakan mereka. Membahagiakan mereka…semoga aku bisa ya Allah, amin.
Umi…engkau
adalah ibu terhebat. Terimakasih ibu…terimakasih umi….tiada kata terindah yang
dapat kuucapkan selain kata ‘terimakasih’ atas segalanya….