بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Sabtu, 09 Juni 2012

Ibu...Malaikat Tak Bersayap


Apa yang akan aku tulis saat ini adalah tentang seseorang. Bagiku dia adalah seorang malaikat. Ya seorang malaikat, malaikat tak bersayap. Yang selalu bisa membawaku terbang, memberiku rasa nyaman yang teramat sangat, yang selalu ada disaat hati ini senang ataupun susah, hingga bisa membuatku menjadi sekarang ini, sebesar ini, sepintar ini, sesehat ini. Ya dialah seorang ibu.

Ibu…dialah kunci besar kesuksesanku selama ini. Dialah penuntunku. Dialah sahabat terbaikku. Dialah kado terindah yang diberikan Allah untukku. Allah memiliki rencana bagaimana Ia menuntun hamba-Nya untuk menuju pada-Nya, untuk mengetahui kebesaran-Nya. Ya salah satunya melalui seorang ibu.

Umi, begitu aku memanggilnya. Malam ini aku teringat sosok umi. Sosok seorang ibu yang selalu ada disaat aku membutuhkannya, disaat aku menangis untuk mendapatkan susu, disaat aku kedinginan karena udara malam, disaat aku ketakutan karena gelapnya malam.

Malam ini semua memori itu terputar kembali dibenakku, dalam pikiranku, dalam hatiku. Semua pengorbanan yang telah umi lakukan demi aku, anaknya. Pengorbanan yang umi lakukan tidak sebanding, bahkan jauh…jauh…sangat jauh…dengan apa yang telah aku capai saat ini. Aku yang sekarang adalah aku yang masih belum bisa membalas semua yang telah umi berikan kepadaku.

Saat itu aku masih kecil, bahkan sekarang pun aku masih tetap kecil, dibandingkan dengan apa yang telah Allah berikan kepadaku. Aku teringat waktu itu, saat usiaku baru menginjak 5 tahun. Ya mungkin 5 tahun, yang jelas ketika aku masih harus diimunisasi. Ketika aku hendak ditimang oleh petugas imunisasi tersebut, aku menangis. Ya aku menangis. Apa yang aku rasakan saat itu adalah aku akan kehilangan orangtuaku, ibuku, umi-ku. Sejenak aku berpikir, sangat besar sekali apa yang telah umi berikan kepadaku sehingga aku tidak ingin ia pergi, bahkan hanya untuk sekedar menimbang berat badan pun saja aku tidak sanggup. Aku menangis.

Taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga aku kuliah seperti ini semuanya berkat orangtuaku, ibuku, umi-ku. Lantas aku berpikir, apa yang sudah aku berikan untuk umi-ku ? aku berpikir…aku berpikir…hanya sedikit yang telah aku berikan untuk umi-ku. Hanya sedikit…

Hal yang sering aku beri kepada umi-ku adalah beban. ‘umi aku minta uang segini untuk membeli ini’, padahal aku tahu waktu itu umi-ku sedang tidak memegang banyak uang, sedangkan aku hanya bisa memaksakan kehendakku. Beruntunglah jika orangtua kita adalah orang berada. Itu sebuah kelebihan. Sedangkan keluargaku adalah keluarga ‘waluya’, waktu perlu aya, maksudnya ketika kita membutuhkan sesuatu pasti ada jalannya. Tega sekali aku memaksakan kehendakku sementara umi-ku pun serba pas-pasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari kami pada saat itu.

Teringat jelas ketika keluargaku masih utuh. Saat itu sedang musim scooter, otopet, begitu aku menyebutnya. Tiba-tiba saja di sore itu, bapakku membawakan ku sebuah otopet. Senangnya bukan main, begitu perhatiannya bapakku itu terhadap anak-anaknya. Termasuk padaku. Saat itu semuanya berjalan dengan baik. Kebutuhan kami dapat tercukupi. Hingga hari dimana Bapakku mengalami kecelakaan dan beliau tidak bisa lagi bekerja dan setelah beberapa tahun kemudian bapakku pergi meninggalkan aku, adikku, kakakku, juga ibuku, umi-ku. Saat itu semua tugas bapakku menjadi tugas umi-ku.

Bisa dibayangkan begitu kuatnya umi-ku. Mengatur segalanya dalam keluargaku. Bisa dibayangkan begitu besarnya, begitu banyaknya keringat yang telah ia keluarkan untuk kami, anak-anaknya. Sementara apa yang aku berikan hanya sebuah beban. Tidak! Bukan sebuah, tetapi banyak.

Aku yakin semua ibu didunia seperti umi-ku. Begitu juga ibumu. Ya ibumu…engkau. Coba ingat-ingat apa yang telah engkau berikan kepada orangtuamu, kepada ibumu. Apakah engkau telah memberikan kebahagiaan tak terhingga untuk ibumu ? seperti apa yang telah ibumu beri kepadamu.

Seorang ibu akan mendengarkan keluhan atau masalah yang sedang dihadapi anaknya, walaupun ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Seorang Ibu akan sangat bahagia jika anaknya bahagia dan seorang ibu akan jauh lebih banyak meneteskan airmata dibandingkan anaknya jika anaknya sedang dilanda kesedihan. Seorang ibu akan selalu tetap tersenyum walau beratnya beban yang sedang ia pikul. Seorang ibu akan selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan ia rela berpuasa agar anaknya dapat makan saat itu. Seorang ibu akan rela mengatakan, “makanlah makanan itu nak…ibu sudah kenyang”. Semua itu karena cinta kasih sayang terhadap anaknya.

Ingat! surga ditelapak kaki ibu. Ridho Allah tergantung dari Ridho orangtua, ridho seorang ibu.

Beruntunglah jika kamu masih memiliki orangtua, ayah dan ibu. Banyak diantara kita yang sudah yatim-piatu. Maka berikanlah yang terbaik yang kamu punya, yang kamu bisa. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum ayah dan ibumu dipanggil oleh Sang Pencipta. Jadilah anak yang soleh/solehah, dan selalu berbaktilah kepada orangtua. Ingat! salah satu amalan yang tidak akan pernah putus adalah do’a anak yang soleh. Bahagiakan mereka. Itu juga menjadi salah satu cita-citaku. Membahagiakan mereka. Membahagiakan mereka…semoga aku bisa ya Allah, amin.

Umi…engkau adalah ibu terhebat. Terimakasih ibu…terimakasih umi….tiada kata terindah yang dapat kuucapkan selain kata ‘terimakasih’ atas segalanya….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar